Sabtu, 07 Maret 2009

Be "The Reading Mother"


Kamu mungkin punya simpanan kekayaan berlimpah ruah/Berpeti-peti perhiasan dan berpundi-pundi emas/Namun, sadarilah bahwa kamu takkan pernah bisa lebih kaya daripadaku/Aku punya seorang ibu yang senantiasa membacakan aku buku. Menggetarkan dan juga indah bukan?
Dalam buku Jim Trelease, Read-Aloud Handbook, ada sebuah kisah yang layak untuk kita simak secara lebih saksama. Kisah itu tentang seorang gadis bernama Jennifer. Ketika Jennifer lahir, dia didiagnosis mengalami down syndrome atau katakanlah—dalam bahasa yang sederhana—keterbelakangan mental. Bahkan ramalan mengerikan dokter kemudian mengiringi kehidupannya: Jennifer diduga akan mengalami kebutaan dan ketulian ketika usia menginjak usia dua tahun. Tetapi apa yang terjadi? Ketika menginjak usia remaja, Jennifer menjadi salah seorang lulusan terbaik di sekolah menengah atas, dan akhirnya dia berhasil masuk ke Universitas Cambridge.

Dalam kehidupan panjang Jennifer, dari lahir hingga dia berusia remaja, tentu belum ada teknologi kedokteran yang mendadak mampu mengubah kehidupannya. Bahkan pun hingga kini. Lantas, mengapa Jennifer dapat mencapai prestasi luar biasa? Ternyata, kesabaran dan kegigihan orangtua Jenniferlah, dalam membacakan buku cerita bertahun-tahun kepadanya, yang mengubah kehidupan Jennifer. Berkat kegiatan membacakan buku cerita yang dilakukan oleh orangtuanya, Jennifer kemudian memiliki kosakata dan keterampilan memahami yang mumpuni.

Kisah ajaib Jennifer itu didukung oleh hasil penelitian Donald P. Hayes dan Margaret G. Ahrens. Kedua peneliti ini kemudian menuliskan hasil penelitian mereka di Journal of Child Language, Volume 15, halaman 395-410, dengan judul “Vocabulary Simplification for Children: A Special Case for ‘Motherese’.” Menurut Hayes dan Ahrens, percakapan umum di tengah keluarga akan memberikan kepada para anggota keluarga tersebut—khususnya kepada anggota keluarga terkecil—kosakata dasar. Tetapi, ketika seseorang membacakan buku, anak-anak yang mendengarkannya akan memperoleh kosakata yang akan membuatnya memiliki kemampuan untuk belajar di sekolah.

Hayes dan Ahrens juga menunjukkan hasil mencengangkan ini. Komunikasi oral lebih lemah daripada teks tercetak dalam urusan membangun kosakata. Ketika anak-anak dapat membaca buku secara menyenangkan, kata-kata langka yang dimilikinya meningkat secara sangat tajam. “Oleh sebab itu,” tambah kedua peneliti, “berhati-hatilah ketika seorang anak kecanduan menonton televisi dan mendengarkan sedikit kata-kata serta jarang menemukan teks tercetak di rumah mereka.” Mengapa kita harus berhati-hati apabila seorang anak jarang dibacakan cerita yang berasal dari buku dan juga enggan membaca buku?

Anak-anak yang jarang menemukan teks tercetak di rumah akan mengalami kesulitan berkomunikasi dan akan banyak menjumpai hambatan dalam menerima pelajaran formal di sekolah. Dan, sayangnya, persoalan yang dialami oleh anak-anak yang kurang membaca teks tercetak tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Problem-problem semacam ini hanya akan dapat diatasi dalam rentang waktu yang sangat panjang disertai, tentu saja, berkarung-karung kesabaran dan ketelatenan.

Buku yang layak dikoleksi bagi orangtua dan calon orang tua, harga Rp 69.000 penerbit Hikmah